1.
Sejarah dan Perkembangan
Postmodernisme
Postmodernisme dalam perkembangannya banyak
sekali menuai penilaian dan pandangan dari makna murni dari postmodernisme.
Sebagian besar orang mengartikan postmodernisme sebagai sesuatu yang “beda”
,
semau gue, dan biasanya melenceng dari kebiasaan umum masyarakat sehingga
banyak yang memaknai postmodernisme sebagai hal yang negatif.
Postmodernisme banyak merasuki aspek
kehidupan, seperti Seni posmo, sastra posmo, film posmo, arsitektur posmo,
ideology posmo, budaya posmo, dan bahkan teologi posmo adalah beberapa contoh
maraknya kehadiran ide “posmodernisme” dalam berbagai sisi kehidupan
kontemporer. Padahal posmodernisme perlu diletakkan secara prooporsional dalam
tataran arus pemikiran filsafat dan social terkini dengan merujuk pada
pemikiran tokoh-tokoh teori social postmodern.
Dalam wilayah sosiologi, kajian tentang
postmodernisme baru manemukan bentuk dan kematangannya pada rentang waktu antara
tahun 1960 hingga 1980-an. Beberapa tokoh pemikir postmodern diantaranya adalah
Jean Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, jean Baudrillard, dan
Friedrich Jameson. Meskipun masih terus berkembang hingga saat ini, harus
diakui bahwa puncak pemikiran posmodernisme terjadi pada era tahun 1980-an.
Prinsip postmodernisme adalah meleburnya batas
wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara
penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan
peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi
oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Jadi, postmodern secara umum
adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.
Posmodernisme awalnya merupakan reaksi
terhadap modernism. Posmodernisme merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan,
intelektual, dan seni yang telah kehilangan hirarki atau prinsip kesatuan serta
disarati kompleksitas eksrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan
kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan parodi. Maka dari itulah lahir
istilah postmodernitas yaitu istilah turunan postmodernisme yang merujuk pada
aspek-aspek non seni sejarah yang di pengaruhi oleh berbagai gerakan baru,
terutama perkembangan dalam dunia social, ekonomi dan kebudayaan sejak tahun
1960-an. Ketika pemikiran tentang penolakan terhadap modernism diadopsi oleh
ranah teori yang lain, dalam beberapa hal ia menjadi sama dengan
postmodernitas. Istilah postmodernistas sendiri juga sering dikaitkan dengan
postrukturalisme (ala micheal Foucault) dan dengan modernism dalam pengertian
penolakan terhadap budaya bejouis elit, dan masih banyak lagi pandangan
modernisme ala tokoh-tokoh lainnya.
Postmodern lahir sebagai reaksi dan kritik
terhadap modernisme yang penuh akan kesalahan dan kegagalan diberbagai bidang
(walaupun beberapa tidak sepenuhnya gagal). Postmodernisme mengatakan bahwa
tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci
dalam pandangan terbatas oleh ras, gender dan grup etnis masing – masing.
Berbeda dengan filsafat sebelumnya zaman modern yang mendasari metodenya dengan
rasionalitasnya. Pada zaman ini seakan – akan tidak ada lagi standar kebenaran.
Kebenaran adalah relative, kenyataan adalah relative dan keduanya menjadi
konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran
digantikan oleh keinginan, moralitas digantikan oleh keinginan, penalaran
digantikan oleh emosi dan moralitas digantikan oleh relativisme, kenyataan
tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau
kekuasaan.
2.
Tokoh-tokoh Postmodernisme
1) Jean Francois
Lyotard
Merupakan seorang filsuf dari Perancis yang
amat berpengaruh dalam gerakan post-strukturalisme. Di antara para filsuf post-strukturalis lain seperti Deleuze, Derrida, dan Foucault,
Lyotard paling sering diasosiasikan dengan postmodernisme. Karya yang menjadikannya terkenal
salah satunya adalah The Postmodern Condition yang berisi tentang
laporan mengenai pengetahuan dari pemerintahan Quebec, meninjau pengetahuan, ilmu dan teknologi dalam masyarakat yang sudah maju. Masyarakat yang
kehilangan kredibilitas dalam organisme (Durkheim) sebagai sistem fungsional Parsons dan
pemisahan kelas pada
teori Marx yang membentuk metanarasi yang mempengaruhi
masyarakat itu. Metanarasi yang dimaksud adalah akumulasi total dari
cerita-cerita besar dalam tradisi yang dianut yang dijadikan tolak ukur sebuah
tindakan dan disyahkan. Pengesahan-pengesahan secara baku pada bidang
masing-masing itu hanya membawa masyarakat kehilangan kemampuan untuk melakukan
perubahan. Misalnya ilmu pengetahuan yang hanya mementingkan eksperimen tanpa
menyadari dampak negatif terhadap masyarakat. Metanarasi-metanarasi lainnya
misalnya adalah doktrin-doktrin agama yang tidak mengatasi masalah masyarakat.
Pengesahan-pengesahan atas metanarasi yang justru memperburuk kondisi manusia
itu, menurut Lyotard tidak boleh dijadikan asas tunggal dalam kehidupan.
Baginya, semua pengesahan-pengesahan itu akan baik jika dibuktikan dalam
perannya di masyarakat.
2) Michel
Foucault
Merupakan seorang filsuf Perancis, sejarawan ide, teori sosial, ahli bahasa dan
kritikus sastra. Teori-teorinya membahas hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan, dan bagaimana mereka digunakan untuk membentuk kontrol sosial
melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, terutama penjara dan rumah sakit.
Meskipun sering disebut sebagai pemikir post-strukturalis dan postmodernis,
Foucault menolak label-label ini dan lebih memilih untuk menyajikan
pemikirannya sebagai sejarah kritis modernitas. Pemikirannya telah sangat
berpengaruh bagi kedua kelompok akademik dan aktivis. Michel menjadi
salah satu pemikir postmodernisme yang menyumbangkan ide dan pemikiran khas
yang cukup berpengaruh dalam perkembangan
pengetahuan manusia. Analisisnya yang kritis dan tajam tentang
berbagai hal, sejarah, wacana, kekuasaan, dan pengetahuan mampu memberikan
warna baru dalam pemikiran postmodernisme. Sejauh ini, pemikirannya masih
menjadi bahan perdebatan yang hangat dan menarik.
3. Pengaruh
Post Modern di Pendidikan
Berdasarkan
ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan
gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak
lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge)
yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian
tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan
proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi
terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang
sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat,
entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.
Ivan Illich (2003 : 33-34) mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh
keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah,
dengan demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan
terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme
yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti
betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus
dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru
seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer
of value (transformasi nilai) serta transfer of knowledge
(transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah
seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu
kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak
ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan
seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking
system) (Freire, 2002 : 28). Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS)
bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak
didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi
tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang
sedemikian berat, meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’
eksperimentasi’ berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan
dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini,
pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada
penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif
postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis
moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan
penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan
persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio
manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas
berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses
pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru
akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa
pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia (Drost, 1998
: 74). Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan
oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan
nalar spiritual.
Dalam
konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan
kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif,
afektif serta psikomotorik (Suparno, 1996: 43). Ketidakmampuan mengembangkan
ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang.
Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga
ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi
masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang
hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam
kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi
proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme
terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy
atau pluralisme (Santoso, 2003 : 331), deferensiasi atau desentralisasi,
dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan
sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi
munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara
ataupun masyarakat Indonesia.
Dari Grand
Narative Ke Local Narative
Bangsa
Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang,
termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah
mereformasi sistem pendidikan nasional yang selama ini terkesan sentralistik
menuju prinsip-prinsip desentralisasi, otonomi dan keadilan. Reformasi sistem
pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan
efektivitas pengelolaan pendidikan. Prinsip ini juga untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat secara luas dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ikhtiar
reformasi sistem pendidikan nasional tersebut diawali dengan dibentuknya Komite
Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk menyempurnakan Undang-Undang No
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain mempersiapkan RUU
Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan aturan pelaksanaannya.
Mengapa harus menyempurnakan UU Sisdiknas ?
Setidaknya
ada tiga argumentasi mengapa UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) sangat urgen direvisi untuk mengelolan pendidikan secara demokratis. Pertama,
dengan mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam
10 tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap
sudah kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali
substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi
akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan
nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola
pendidikan nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai
sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan
kekinian dan kemasadepanan.
Kedua, mau tidak
mau, kelahiran UU No. 22/2999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa
hal mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan
adanya kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri.
Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk
mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu
diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
pemerintah daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, dari
berbagai kajian hasil Konferensi Asia Pasifik mengenai pelaksanaan Education
for All (EFA) yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari
tampak jelas bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan
nasional masing-masing negara, dimana kenaikan nasional setiap negara
untuk pendidikan (dasar) cenderung menurun lima tahun terakhir. Bantuan
internasional memang naik 3,8 milyar dollar pada 1985, namun kemudian berhenti.
Artinya, negara-negara donor gagal memenuhi komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya
guna membantu negara-negara berkembang, sehingga target alokasi 20 % untuk
sektor pembangunan sosial terpenuhi. Sementara anggaran untuk pendidikan di
Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar 8 % dan telah menurun menjadi 6
% pada tahun 1999/2000 (Wahono, 2001 : 109). Anggaran pendidikan yang kecil
tersebut sampai sekarang belum mencapai 20 % meskipun sudah memasuki tahun
2009.
Pendidikan
diberbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar pengembangan dan
pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu menggunakan
pendidikan sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas sumberdaya manusia,
baik sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Negara yang mempunyai konsep
dan proses pendidikan yang baik dan modern biasanya menghasilkan output
pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan segenap agenda pembangunan.
Melalui pendidikan, proses pemenuhan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan
penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai pendukung utama
keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Itulah sebabnya di banyak negara
maju, selalu menggunakan pendidikan sebagai proses mengejar ketertinggalan di
berbagai bidang. Dalam hal ini bisa dilihat negara Jepang, dan Jerman, yang
memiliki SDM berkualitas dapat membangun negara mereka dengan cepat meskipun
dalam perang dunia (PD) II, kedua negara tersebut mengalami kekalahan dan
hampir seluruh infrastrukturnya hancur (Nugroho, 2003 : 115-116)
Memahami
apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkan dalam proses
berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk selalu
dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan nasional kita selalu menjadi
agenda yang dinomor sekiankan setelah agenda pembangunan bidang ekonomi dan
politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa
keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi
daerah (otda) yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2001, maka sektor
pendidikan sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan
kebutuhan SDM, penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan
sebagainya, harus menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Selama ini
yang terjadi adalah betapa proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda
pembangunan lokal. Artinya, proses pendidikan, dalam artian pendidikan formal
(sekolah) sesunguhnya diterapkan dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya manusia yang (minimal) sanggup
menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Dalam artian, setiap proses
pendidikan di dalamnya seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan
muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga output pendidikan
adalah manusia yang sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang
sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran
pendidikan yang mengerti kebutuhan daerah (lokal) manakala proses belajarnya
tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam
masyarakat.
Berbagai
ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan seringkali
tercerabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya menjadi
bahan pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya; fakta bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat
agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada
problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian
disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan
yang sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak
produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan
pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik
lebih banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan
tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak percayaan diri anak
didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan
fenomena rebuatan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau
minimal bekerja di perkantoran.
Selain itu
ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya praktek
pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di beberapa daerah
pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah pedesaan dan
perkampungan hutan serta masyarakat nelayan; ditemui suatu kenyataan betapa
anak-anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi justru melakukan kegiatan
atau aktivitas kerja, semisal bertani, mencari rumput, menggembala, berladang
di hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
Secara
spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut kurang
mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk
mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan.
Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak
mereka untuk masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti
tesis tersendiri dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh
anak-anak. Anti tesis dunia pendidikan bisa diperluas cakupannya
menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan
orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal.
Ketika
anak-anak lain sedang menekuni pelajaran di bangku sekolah dengan paket
kurikulum yang telah digariskan, anak-anak pedalaman, (anak nelayan dan juga
anak-anak petani) justru mengikuti orang tuanya berladang menembus hutan belajar
tentang dunia hutan sekitar mereka. Mereka belajar tentang kesuburan tanah,
bibit tanaman, tanda-tanda alam, pergantian musim, berpindah lahan demi
pemulihan kesuburan dan daur alam. Atau anak-anak nelayan yang seperahu dengan
bapaknya tentang angin, ombak, kehidupan laut dan sebagainya. Kita jangan
bertanya; mengapa mereka tidak bersekolah ? Ini soal biaya atau kesempatan ?
Karena sesungguhnya mereka belajar tentang keseharian dengan lingkungan yang
terdekat; persoalan riil yang mesti dihadapinya, bukan persoalan global yang
seringkali jauh dari pikirannya.
Ilustrasi di
atas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali praktek pendidikan
yang diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar budayanya, mencerabut
juga dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari untuk kemudian
bersama dicarikan titik solusinya melalui proses yang bernama pendidikan.
Kegagalan
membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal sesungguhnya
seringkali menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang sudah
dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses pendidikan yang tidak
bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik
dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan
ilustrasi ini sebenarnya yang menjadi landasan pijak bagi dunia pendidikan
untuk kembali merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan proses
belajar-mengajar. Apalagi dalam konteks saat ini telah diberlakukan paket
otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke
daerah yang tentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek
pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan
mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras
dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, maka
wacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiring dengan
pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini pola pengambilan
keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal,
tanpa mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan
nasional.
Mendesaknya
agenda pengembangan pendidikan dalam rangka pembangunan, baik nasional maupun
daerah sebenarnya terkait dengan dua (2) dokumen penting yang keluar beberapa waktu
yang lalu yang diperkirakan berdampak langsung pada sistem pendidikan
nasional yang layak mendapat perhatian serius. Dokumen pertama adalah
rekomendasi jangka panjang Bank Dunia terhadap pendidikan Indonesia dalam
menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalam Laporan Nomor
18651-IND Bank Dunia bertajuk Education ini Indonesia: From Crisis to
Recovery (9 Desember 1998) yang berisis tentang kegagalan pendidikan di
Indonesai yang dianggap masih belum memuaskan, sehingga salah satu rekomendasinya
adalah mendesaknya diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Dokumen
kedua adalah keluarnya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, dimana
kabupaten dan kotamadya menjadi basis pengelolaan pemerintah daerah otonom.
Pemberlakukaan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara
politis-sosiologis bermakna strategis dalam jangka panjang. Secara politis, UU
ini akan mereduksi peranan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang selama tiga (3) dasawarsa telah mengalami proses
sentralisasi. UU ini merupakan landasan hukum bagi diberlakukannya proses
desentralisasi kekuasaan dengan memberikan otonomi penuh kepada daerah. Secara
sosiologis, UU ini merupakan langkah nyata pemberdayaan daerah (Amich Alhumami,
Kompas, 11/9/2000).
Berkaitan
dengan sistem penyenggaraan pendidikan, maka revisi UUSPN tentang perlunya asas
desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru menguatnya iklim
demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan
dimulainya pemberian peran lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat
kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan.
Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan
lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap daerah berbeda sehingga
memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan yang mengakomodir
kebudayaan lokal tersebut (Suparno, 2001 : 71).
Desentralisasi
pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikan yang bersifat indegneous
(pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek dasar dari lokalitas
masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik tidak tercerabut dari
akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik antara
penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan
pengenalan secara lebih komprehensif.
Sistem ini
jelas memberikan peluang terjadinya demokratisasi pendidikan, karena ia tidak
lagi terpusat dalam soal penyusunan kurikulum bahkan soal pengangkatan guru.
Desentralisasi pendidikan merupakan langkah strategis untuk menguatkan daerah
dan memberikan kebebasan dalam menyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang
ramai dibicarakan.
Peralihan
kewenangan dari pusat ke daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu
memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan daerah untuk mampu dihadapkan pada
wacana global (Jalal, 2003 : 99). Misalnya, daerah Sabang yang dikelilingi oleh
laut, hendaknya juga diberikan penekanan pada sistem pembelajaran mengenai
kelautan dan perikanan, sehingga sumberdaya alam dapat dioptimalisasikan dan
sumberdaya manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja tersebut.
Dari uraian
tentang desentralisasi pendidikan tersebut tampak jelas betapa tema tentang local
narative merupakan pilihan penting untuk menggantikan grand narative
yang selama ini mendominasi sistem pendidikan nasional. Awalnya negara
memainkan peranan besar untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di
setiap sekolah. Negara mencoba menerapkan pendidikan yang sifatnya homogen.
Situasi ini jelas menjadi tema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang
sejak semula tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab
masyarakat adalah heteregon, baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga
menjadi tidak populer kalau negara masih memaksakan kehendaknya untuk
mempengaruhi dan menjadi pendidikan persekolahan menjadi seragam atau homogen.
Peralihan
wacana dari grand narative ke local narative tersebut ditandai
dari pergeseran peran yang semula sentralistik menuju desentralistik. Jika dulu
negara yang sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakan menyangkut
pendidikan persekolahan, maka dengan diterapkannya sistem disentralisasi, pihak
sekolah dan masyarakatlah yang harus berperan aktif secara profesional
mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.
0 komentar:
Posting Komentar