Jumat, 06 September 2019

Filsafat Post Modern : Sejarah, Perkembangan, Tokoh-Tokoh dan Implikasinya dalam Pendidikan

Diposting oleh Fadillah Rahmayani di 21.40.00


1.      Sejarah dan Perkembangan Postmodernisme
Postmodernisme dalam perkembangannya banyak sekali menuai penilaian dan pandangan dari makna murni dari postmodernisme. Sebagian besar orang mengartikan postmodernisme sebagai sesuatu yang “beda”
, semau gue, dan biasanya melenceng dari kebiasaan umum masyarakat sehingga banyak yang memaknai postmodernisme sebagai hal yang negatif. 
Postmodernisme banyak merasuki aspek kehidupan, seperti Seni posmo, sastra posmo, film posmo, arsitektur posmo, ideology posmo, budaya posmo, dan bahkan teologi posmo adalah beberapa contoh maraknya kehadiran ide “posmodernisme” dalam berbagai sisi kehidupan kontemporer. Padahal posmodernisme perlu diletakkan secara prooporsional dalam tataran arus pemikiran filsafat dan social terkini dengan merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh teori social postmodern.
Dalam wilayah sosiologi, kajian tentang postmodernisme baru manemukan bentuk dan kematangannya pada rentang waktu antara tahun 1960 hingga 1980-an. Beberapa tokoh pemikir postmodern diantaranya adalah Jean Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, jean Baudrillard, dan Friedrich Jameson. Meskipun masih terus berkembang hingga saat ini, harus diakui bahwa puncak pemikiran posmodernisme terjadi pada era tahun 1980-an.
Prinsip  postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Jadi, postmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.
Posmodernisme awalnya merupakan reaksi terhadap modernism. Posmodernisme merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan, intelektual, dan seni yang telah kehilangan hirarki atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas eksrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan parodi. Maka dari itulah lahir istilah postmodernitas yaitu istilah turunan postmodernisme yang merujuk pada aspek-aspek non seni sejarah yang di pengaruhi oleh berbagai gerakan baru, terutama perkembangan dalam dunia social, ekonomi dan kebudayaan sejak tahun 1960-an. Ketika pemikiran tentang penolakan terhadap modernism diadopsi oleh ranah teori yang lain, dalam beberapa hal ia menjadi sama dengan postmodernitas. Istilah postmodernistas sendiri juga sering dikaitkan dengan postrukturalisme (ala micheal Foucault) dan dengan modernism dalam pengertian penolakan terhadap budaya bejouis elit, dan masih banyak lagi pandangan modernisme ala tokoh-tokoh lainnya.
Postmodern lahir sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme yang penuh akan kesalahan dan kegagalan diberbagai bidang (walaupun beberapa tidak sepenuhnya gagal). Postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam pandangan terbatas oleh ras, gender dan grup etnis masing – masing. Berbeda dengan filsafat sebelumnya zaman modern yang mendasari metodenya dengan rasionalitasnya. Pada zaman ini seakan – akan tidak ada lagi standar kebenaran. Kebenaran adalah relative, kenyataan adalah relative dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, moralitas digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi dan moralitas digantikan oleh relativisme, kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.

2.      Tokoh-tokoh Postmodernisme
1)      Jean Francois Lyotard
Merupakan seorang filsuf dari Perancis yang amat berpengaruh dalam gerakan post-strukturalisme. Di antara para filsuf post-strukturalis lain seperti DeleuzeDerrida, dan Foucault, Lyotard paling sering diasosiasikan dengan postmodernisme. Karya yang menjadikannya terkenal salah satunya adalah The Postmodern Condition yang berisi tentang laporan mengenai pengetahuan dari pemerintahan Quebec, meninjau pengetahuan, ilmu dan teknologi dalam masyarakat yang sudah maju. Masyarakat yang kehilangan kredibilitas dalam organisme (Durkheim) sebagai sistem fungsional Parsons dan pemisahan kelas pada teori Marx yang membentuk metanarasi yang mempengaruhi masyarakat itu. Metanarasi yang dimaksud adalah akumulasi total dari cerita-cerita besar dalam tradisi yang dianut yang dijadikan tolak ukur sebuah tindakan dan disyahkan. Pengesahan-pengesahan secara baku pada bidang masing-masing itu hanya membawa masyarakat kehilangan kemampuan untuk melakukan perubahan. Misalnya ilmu pengetahuan yang hanya mementingkan eksperimen tanpa menyadari dampak negatif terhadap masyarakat. Metanarasi-metanarasi lainnya misalnya adalah doktrin-doktrin agama yang tidak mengatasi masalah masyarakat. Pengesahan-pengesahan atas metanarasi yang justru memperburuk kondisi manusia itu, menurut Lyotard tidak boleh dijadikan asas tunggal dalam kehidupan. Baginya, semua pengesahan-pengesahan itu akan baik jika dibuktikan dalam perannya di masyarakat.

2)      Michel Foucault
Merupakan seorang filsuf Perancis, sejarawan ide, teori sosial, ahli bahasa dan kritikus sastra. Teori-teorinya membahas hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dan bagaimana mereka digunakan untuk membentuk kontrol sosial melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, terutama penjara dan rumah sakit. Meskipun sering disebut sebagai pemikir post-strukturalis dan postmodernis, Foucault menolak label-label ini dan lebih memilih untuk menyajikan pemikirannya sebagai sejarah kritis modernitas. Pemikirannya telah sangat berpengaruh bagi kedua kelompok akademik dan aktivis. Michel menjadi salah satu pemikir postmodernisme yang menyumbangkan ide dan pemikiran khas yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pengetahuan manusia. Analisisnya yang kritis dan tajam tentang berbagai hal, sejarah, wacana, kekuasaan, dan pengetahuan mampu memberikan warna baru dalam pemikiran postmodernisme. Sejauh ini, pemikirannya masih menjadi bahan perdebatan yang hangat dan menarik.

3.      Pengaruh Post Modern di Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah. Ivan Illich (2003 : 33-34) mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) (Freire, 2002 : 28). Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia (Drost, 1998 : 74). Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik (Suparno, 1996: 43). Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme (Santoso, 2003 : 331), deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat Indonesia.
Dari Grand Narative Ke Local Narative
Bangsa Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi sistem pendidikan nasional yang selama ini terkesan sentralistik menuju prinsip-prinsip desentralisasi, otonomi dan keadilan. Reformasi sistem pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan pendidikan. Prinsip ini juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ikhtiar reformasi sistem pendidikan nasional tersebut diawali dengan dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk menyempurnakan Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan aturan pelaksanaannya. Mengapa harus menyempurnakan UU Sisdiknas ?
Setidaknya ada tiga argumentasi mengapa UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sangat urgen direvisi untuk mengelolan pendidikan secara demokratis. Pertama, dengan mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam 10 tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap sudah kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola pendidikan nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No. 22/2999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan adanya kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, dari berbagai kajian hasil Konferensi Asia Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All (EFA) yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan nasional masing-masing negara, dimana kenaikan nasional setiap negara  untuk pendidikan (dasar) cenderung menurun lima tahun terakhir. Bantuan internasional memang naik 3,8 milyar dollar pada 1985, namun kemudian berhenti. Artinya, negara-negara donor gagal memenuhi komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya guna membantu negara-negara berkembang, sehingga target alokasi 20 % untuk sektor pembangunan sosial terpenuhi. Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar 8 %  dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun 1999/2000 (Wahono, 2001 : 109). Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang belum mencapai 20 % meskipun sudah memasuki tahun 2009.
Pendidikan diberbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Negara yang mempunyai konsep dan proses pendidikan yang baik dan modern biasanya menghasilkan output pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan segenap agenda pembangunan. Melalui pendidikan, proses pemenuhan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Itulah sebabnya di banyak negara maju, selalu menggunakan pendidikan sebagai proses mengejar ketertinggalan di berbagai bidang. Dalam hal ini bisa dilihat negara Jepang, dan Jerman, yang memiliki SDM berkualitas dapat membangun negara mereka dengan cepat meskipun dalam perang dunia (PD) II, kedua negara tersebut mengalami kekalahan dan hampir seluruh infrastrukturnya hancur (Nugroho, 2003 : 115-116)
Memahami apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkan dalam proses berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk selalu dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan nasional kita selalu menjadi agenda yang dinomor sekiankan setelah agenda pembangunan bidang ekonomi dan politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi daerah (otda) yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2001, maka sektor pendidikan sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan kebutuhan SDM, penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan sebagainya, harus menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi adalah betapa proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda pembangunan lokal. Artinya, proses pendidikan, dalam artian pendidikan formal (sekolah) sesunguhnya diterapkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Dalam artian, setiap proses pendidikan di dalamnya seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga output pendidikan adalah manusia yang sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti kebutuhan daerah (lokal) manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan seringkali tercerabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya; fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang  sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik lebih banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak percayaan diri anak didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan fenomena rebuatan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau minimal bekerja di perkantoran.
Selain itu ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di beberapa daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah pedesaan dan perkampungan hutan serta masyarakat nelayan; ditemui suatu kenyataan betapa anak-anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi justru melakukan kegiatan atau aktivitas kerja, semisal bertani, mencari rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan. Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak mereka untuk  masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti tesis tersendiri dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh anak-anak. Anti tesis dunia pendidikan bisa diperluas cakupannya menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal.
Ketika anak-anak lain sedang menekuni pelajaran di bangku sekolah dengan paket kurikulum yang telah digariskan, anak-anak pedalaman, (anak nelayan dan juga anak-anak petani) justru mengikuti orang tuanya berladang menembus hutan belajar tentang dunia hutan sekitar mereka. Mereka belajar tentang kesuburan tanah, bibit tanaman, tanda-tanda alam, pergantian musim, berpindah lahan demi pemulihan kesuburan dan daur alam. Atau anak-anak nelayan yang seperahu dengan bapaknya tentang angin, ombak, kehidupan laut dan sebagainya. Kita jangan bertanya; mengapa mereka tidak bersekolah ? Ini soal biaya atau kesempatan ? Karena sesungguhnya mereka belajar tentang keseharian dengan lingkungan yang terdekat; persoalan riil yang mesti dihadapinya, bukan persoalan global yang seringkali jauh dari pikirannya.
Ilustrasi di atas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali praktek pendidikan yang diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar budayanya, mencerabut juga dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari untuk kemudian bersama dicarikan titik solusinya melalui  proses yang bernama pendidikan.
Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan ilustrasi ini sebenarnya yang menjadi landasan pijak bagi dunia pendidikan untuk kembali merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar. Apalagi dalam konteks saat ini telah diberlakukan paket otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah yang tentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, maka wacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiring dengan pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini pola pengambilan keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal, tanpa mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan nasional.
Mendesaknya agenda pengembangan pendidikan dalam rangka pembangunan, baik nasional maupun daerah sebenarnya terkait dengan dua (2) dokumen penting yang keluar beberapa waktu yang lalu yang diperkirakan berdampak langsung pada  sistem pendidikan nasional yang layak mendapat perhatian serius. Dokumen pertama adalah rekomendasi jangka panjang Bank Dunia terhadap pendidikan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalam Laporan Nomor 18651-IND Bank Dunia bertajuk Education ini Indonesia: From Crisis to Recovery (9 Desember 1998) yang berisis tentang kegagalan pendidikan di Indonesai yang dianggap masih belum memuaskan, sehingga salah satu rekomendasinya adalah mendesaknya  diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Dokumen kedua adalah keluarnya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, dimana kabupaten dan kotamadya menjadi basis pengelolaan pemerintah daerah otonom. Pemberlakukaan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara politis-sosiologis bermakna strategis dalam jangka panjang. Secara politis, UU ini akan mereduksi peranan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang selama tiga (3) dasawarsa telah mengalami proses sentralisasi. UU ini merupakan landasan hukum bagi diberlakukannya proses desentralisasi kekuasaan dengan memberikan otonomi penuh kepada daerah. Secara sosiologis, UU ini merupakan langkah nyata pemberdayaan daerah (Amich Alhumami, Kompas, 11/9/2000).
Berkaitan dengan sistem penyenggaraan pendidikan, maka revisi UUSPN tentang perlunya asas desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru menguatnya iklim demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan dimulainya pemberian peran lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan. Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap daerah berbeda sehingga memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan yang mengakomodir kebudayaan lokal tersebut (Suparno, 2001 : 71).
Desentralisasi pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikan yang bersifat indegneous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek dasar dari lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik tidak tercerabut dari akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik antara penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan pengenalan secara lebih komprehensif.
Sistem ini jelas memberikan peluang terjadinya demokratisasi pendidikan, karena ia tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan kurikulum bahkan soal pengangkatan guru. Desentralisasi pendidikan merupakan langkah strategis untuk menguatkan daerah dan memberikan kebebasan dalam menyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang ramai dibicarakan.
Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan daerah untuk mampu dihadapkan pada wacana global (Jalal, 2003 : 99). Misalnya, daerah Sabang yang dikelilingi oleh laut, hendaknya juga diberikan penekanan pada sistem pembelajaran mengenai kelautan dan perikanan, sehingga sumberdaya alam dapat dioptimalisasikan dan sumberdaya manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja tersebut.
Dari uraian tentang desentralisasi pendidikan tersebut tampak jelas betapa tema tentang local narative merupakan pilihan penting untuk menggantikan grand narative yang selama ini mendominasi sistem pendidikan nasional. Awalnya negara memainkan peranan besar untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah. Negara mencoba menerapkan pendidikan yang sifatnya homogen. Situasi ini jelas menjadi tema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang sejak semula tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab masyarakat adalah heteregon, baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga menjadi tidak populer kalau negara masih memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi dan menjadi pendidikan persekolahan menjadi seragam atau homogen.
Peralihan wacana dari grand narative ke local narative tersebut ditandai dari pergeseran peran yang semula sentralistik menuju desentralistik. Jika dulu negara yang sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakan menyangkut pendidikan persekolahan, maka dengan diterapkannya sistem disentralisasi, pihak sekolah dan masyarakatlah yang harus berperan aktif secara profesional mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fadillah's blog Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review